PEMERINTAH NAIKKAN HARGA PASAR ROKOK, INI ALASANNYA!

Selama tahun 2013 hingga tahun 2020, harga rokok semakin meningkat. Kecuali tahun 2019, harga rokok menjadi relatif lebih murah karena tidak ada kenaikan tarif cukai.

Penjualan rokok mengalami pertumbuhan negatif yang dipengaruhi oleh kebijakan cukai dalam beberapa tahun terakhir. Kebijakan tarif cukai mempengaruhi pertumbuhan negatif di tahun 2020 penjualan rokok mengalami penurunan hingga 322 miliar batang atau turun menjadi 9,7% dari tahun 2019.

Namun demikian, terjadi perubahan market share yang signifikan di tahun 2020 di mana telah terjadi downtrading, yaitu pergeseran konsumsi rokok dari rokok mahal ke rokok yang lebih murah.


Dalam sebuah acara webinar yang berjudul " Rasionalisasi Kebijakan dan Optimalisasi Pengawasan Harga Pasar Rokok", yang diselenggarakan oleh Kantor Berita Radio (KBR) dengan moderatornya  Aditya Laksmana Yudha, Pemimpin Redaksi Beritasatu.com pada hari Senin, 29 Maret 2021 lalu. Dikatakan oleh salah satu pembicara, yaitu Wawan Juswanto, seorang Analis Kebijakan Madya, Badan Kebijakan Fiskal, Kementerian Keuangan RI, hal tersebut dilakukan, dan menjadi suatu kebijakan cukai hasil tembakau dalam memenuhi salah satu instrumen peningkatan kualitas SDM. Yaitu dengan cara:

Pengendalian konsumsi 
Pengenaan cukai ditujukan sebagai upaya pengendalian konsumsi sebagaimana diamanatkan undang-undang cukai. Selain itu juga merupakan bagian dari Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional 2020-2024 untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui penurunan prevalensi merokok khususnya usia 10 sampai 18 tahun yang ditargetkan menjadi 8,7% di tahun 2024.

Keberlangsungan tenaga kerja dan petani tembakau 
Kebijakan cukai juga mempertimbangkan dampak terhadap petani tembakau bekerja serta industri hasil tembakau secara keseluruhan.

Penerimaan negara, Kebijakan cukai mendukung program pembangunan nasional melalui penerimaan negara sebagai sumber pembiayaan untuk mengatasi eksternalisasi.

Pengawasan BKC ilegal, dimana pentingnya peningkatan sinergi dalam pengawasan peredaran rokok ilegal yang merugikan.

Konsumsi rokok berdampak multidimensi sehingga diperlukan pengendalian 

Perilaku merokok merupakan salah satu penyebab pembengkakan defisit Jaminan Kesehatan Nasional (JKN).

Perokok usia muda terus meningkat 
1. Perokok dibawah umur 18 tahun naik dari 7,2% dalam kurung 2013 menjadi 9,1% dalam karung 2018. 
(riskesdas, 2018)
2. Penggunaan e-cigarettes meningkat.

Meningkatkan risiko stunting 
Bayi yang lahir di rumah tangga perokok memiliki risiko stunting dan westing di periode emas pertumbuhannya 5,5% lebih tinggi dibanding keluarga non perokok (PKJS, 2018).

Rokok menjadi beban pengeluaran rumah tangga tertinggi kedua pada kelompok masyarakat miskin perkotaan dan pedesaan buka (BPS, 2018).

Risiko keberlanjutan JKN 
Dana tersedot untuk penanganan penyakit. Keluarga perokok memiliki kepatuhan membayar iuran JKN yang lebih rendah. (Nurhasana, 2018).

Beban ekonomi yang besar
21% dari kasus penyakit kronis di Indonesia terkait dan menimbulkan beban ekonomi US Dollar 1,2 miliar per tahun (Goodchild et al., 2017; Barber et al, 2008).

Peningkatan kualitas SDM dicapai antara lain melalui penurunan prevalensi merokok

Selama periode 2007-2018, angka prevalensi merokok dewasa laki-laki di 2018 sebesar 62,9%. Prevalensi merokok perempuan meningkat 2,5% di 2016 menjadi 4,8% di 2018. Prevalensi merokok anak dan remaja meningkat dari 7,2% menjadi 9,1%.

RPJM 2020-2024 menargetkan prevalensi perokok anak dan remaja turun menjadi 8,7% di tahun 2024.
Pengenaan cukai hasil tembakau yang semakin tinggi dapat meningkatkan harga rokok sehingga lebih tidak terjangkau.
Selain melalui cukai, instrumen lain yang digunakan untuk menurunkan prevalensi merokok khususnya anak usia remaja antara lain edukasi serta iklan, promosi, dan sponsorship.

Tarif cukai dan harga dasar atau harga jual eceran.

Pemerintah menyadari bahwa tahun 2020 merupakan tahun yang cukup berat bagi sebagian besar sektor industri termasuk industri hasil tembakau khususnya segmen SKT yang padat karya. Oleh karena itu, tarif SKT ditetapkan tidak naik. Pemerintah menaikkan penggunaan Dana Bagi Hasil Cukai Hasil Tembakau (DBH CHT) untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan pekerja industri tembakau yang terdampak oleh kebijakan cukai sebesar 50% dari total alokasi.

Menurut salah satu pembicara dalam acara ini, Adi Musharianto, Center of Human and Economic Development (CHED) Institut Teknologi dan Bisnis (ITB) Ahmad Dahlan Jakarta, menyampaikan bahwa dampak dari tidak sesuainya Harga Transaksi Pasar (HTP) dengan harga jual eceran menyebabkan harga rokok tetap terjangkau sehingga pengendalian konsumsi tidak optimal untuk menurunkan prevalensi merokok. Lalu, pembayaran Cukai dan pajak rokok tetap mengacu pada Harga Jual Eceran (HJE), apabila HPP lebih rendah dari hj maka akan ada pembiayaan komponen produksi yang ditekan. Lalu, kebijakan fiskal menjadi variabel bebas bagi pelaksanaan kebijaksanaan kebijakan non fiskal melalui air marking terhadap dana hasil cukai (DBH CHT) dan dana pajak rokok, namun pemanfaatan keduanya masih lebih besar atau cenderung pada aspek pembiayaan dampak kesehatan atau kuratif, baru sebagian kecil saja digunakan untuk mendukung pelaksanaan kebijakan non fiskal dan investasi pembangunan SDM.

Sedangkan, menurut Dr. Rizky Kusuma Hartono, Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia, menyampaikan bahwa rokok atau tembakau adalah salah satu produk yang termasuk dalam kategori barang kena cukai. Jumlah Cukai yang diperoleh dari CHT ini mendominasi pendapatan Cukai secara keseluruhan hingga 96% sampai dengan 98% setiap tahunnya. Oleh karena itu, rokok atau tembakau harus dikendalikan penggunaan maupun konsumsinya. maka pemerintah membebankan perusahaan berupa tarif CHT yang selalu dievaluasi setiap tahunnya melalui instrumen kebijakan fiskal baik berupa peraturan Kementerian maupun undang-undang.

Untuk itu, Rizky menyampaikan rekomendasi sebagai berikut: 
1. Pemerintah diharapkan mampu menetapkan roadmap kebijakan http 85% ini secara berkelanjutan dan bertahap. Saat ini bisa mulai dari http 85%, lalu 90%, 95% hingga 100%. Atau bisa saja lebih dari 100% seperti yang dialami pada rokok jenis SKT saat ini.
2. pemerintah memberikan teguran dan sanksi tegas bagi industri rokok yang masih menetapkan http di bawah 85%. Hal ini sudah ditetapkan pada PMK terbaru dan semoga bisa diimplementasikan dengan baik.
3. Pemerintah menghimbau industri rokok agar mengutamakan penyerapan tembakau lokal tentunya di saat yang sama melakukan pendampingan pula terhadap para petani tembakau agar produknya menjadi lebih berkualitas. 
4. Pemerintah diharapkan dapat mengantisipasi terjadinya peristiwa predatory yang dialami oleh industri SKT, mengingat dalam kebijakan http 85% ini SKT tidak mampu memanfaatkannya karena padatnya beban tenaga kerja yang mereka serap.

Kesimpulan dan saran yang disampaikan oleh Rizky, yaitu: Terdapat dua jalur kebijakan ekonomi pengendalian tembakau, yaitu menaikkan tarif CHT dan menaikkan HJE minimum. dampak pengendalian konsumsi rokok semakin besar bila diikuti simplifikasi strata tarif CHT. Perlunya advokasi dampak positif simplifikasi strata tarif jht dan kenaikan minimum dalam pengendalian konsumsi rokok. Pentingnya melakukan revisi PP 109/2012. Pentingnya membatasi penjualan rokok batangan. Mengoptimalkan peran lintas sektor dalam hal pengawasan konsumsi tembakau.

Di sesi selanjutnya, Rama Prima Syahti Fauzi, seorang Analis Kebijakan Madya, Kedeputian Peningkatan Kualitas Kesehatan dan PK, Kemenko PMK,  menyampaikan kebijakan fiskal sebagai variabel bebas terhadap variabel non-fiskal di mana dana pajak rokok (pasal 31 UU 28/09): dialokasikan paling sedikit 50% untuk mendanai pelayanan kesehatan masyarakat dan penegakan hukum oleh aparat yang berwenang. Di mana penjelasan pasal 31 yaitu pelayanan kesehatan masyarakat antara lain pembangunan atau pengadaan dan pemeliharaan sarana dan prasarana unit pelayanan kesehatan penyediaan sarana umum yang memadai bagi perokok (smoking area), kegiatan memasyarakatkan tentang bahaya merokok dan iklan layanan masyarakat mengenai bahaya merokok. Rama pun menyampaikan kebijakan di dalam Perpres 82/2018 tentang jaminan kesehatan nasional: 75% dari 50% pajak rokok digunakan untuk program jaminan kesehatan nasional. Serta kebijakan pada Permenkes 53/2017 tentang perubahan atas peraturan menteri Kesehatan nomor 40 tahun 2016 tentang petunjuk teknis penggunaan pajak rokok untuk pendanaan pelayanan kesehatan masyarakat. 2 pajak rokok untuk pendanaan program jaminan kesehatan nasional sebesar 75% dari alokasi pelayanan kesehatan.



Tidak ada komentar:

Posting Komentar